Search
Search
Close this search box.
Ilustrasi artikel terkait Krisis Mental Health
Krisis Mental Health Gen Z: Tuntutan Sosial dan Standarisasi Gaya Hidup di Dunia Maya

Media sosial kini menjadi ancaman nyata bagi para penggunanya. Media sosial merupakan platform digital dimana semua orang dapat terhubung serta menjalin komunikasi, interaksi dan mendapatkan informasi dari sana. Namun belakangan ini, marak sekali penyalahgunaan media sosial oleh para oknum tidak bertanggung jawab. Media sosial bisa menjadi wadah yang positif bagi pengguna yang bijak, namun juga bisa menjadi senjata tajam yang bisa membunuh seseorang apabila disalahgunakan. Ada banyak sekali kasus penyalahgunaan media sosial, diantaranya seperti cyberbullying (pembulian di dunia maya), scam (penipuan), menyebarkan berita hoaks untuk memancing pertikaian, dan lain sebagainya. Di Indonesia, kebanyakan pengguna media sosial terkhususnya Instagram dan Tik Tok merupakan remaja berumur 15-20 tahun. Ini menandakan bahwa media sosial banyak diakses oleh Generasi Z (Gen Zoomers).

Jika anda mengikuti informasi dari internet, gen z merupakan golongan yang akhir-akhir ini sering dibahas oleh kebanyakan orang. Gen Z sendiri merupakan kelompok demografi yang lahir pada rentang tahun 1997-2012. Ini berarti mereka merupakan generasi yang saat ini berumur kisaran 8 s/d 23 tahun. Berdasarkan jurnal yang berjudul Krisis Mental Gen Z Di Era Gempuran Digital (Oktober, 2023) sang penulis memberikan sebuah statement yang berbunyi “Saat ini di Indonesia posisi Generasi Z merupakan tumpuan masa depan dan digadang-gadang bakal memimpin Indonesia Emas 1945. Namun, banyak anak kelahiran tahun 2000-2010 ini mengalami masalah krisis mental atau kesehatan mental, yang bisa berdampak sosial dan ekonomi berkepanjangan serta merugikan kehidupan mereka di masa depan jika tidak ditangani dengan baik sejak dini.”. Lantas apa maksud dari pernyataan tersebut?

Gen Z merupakan golongan yang menjadi tumpuan bagi keberlangsungan kemajuan negeri ini. Mereka lah yang nantinya akan menjadi generasi penerus yang akan memimpin Indonesia. Namun, jika melirik dari statement diatas, ada banyak kekhawatiran yang datang dari generasi terdahulu mengenai kehidupan Gen Z. Media sosial terkhususnya Instagram, Twitter dan Tik Tok kini telah beralih fungsi menjadi platform dimana banyak orang yang memposting keberhasilan dan kesuksesan dirinya. Media sosial kini telah menjadi tolak ukur bagi Gen Z mengenai makna keberhasilan dan kesuksesan. Padahal sejatinya, kata kesuksesan merupakan hal yang relatif bagi individu. Coba kita melirik pada kasus flexing (pamer harta) yang dilakukan oleh oknum pejabat yang mencoba memposting kemewahan dirinya di media sosial, atau flexing prestasi yang didapatkan dari sejumlah beasiswa, hingga flexing pekerjaan yang berhasil ia miliki di usia muda. Semua postingan tersebut secara tidak sadar menjadi standarisasi kaum gen Z dalam memaknai arti kesuksesan. Mereka berpikir bahwa sukses adalah bisa memiliki banyak uang, sukses adalah kaya, sukses adalah berprestasi, sukses adalah mampu menghasilkan di usia muda, sukses adalah punya rumah besar, dan lain sebagainya. Standarisasi gaya hidup inilah yang memicu krisis kesehatan mental Gen Z.

Selain standarisasi gaya hidup, tuntutan sosial juga menjadi salah satu faktor yang kerap dihadapi. Tuntutan untuk menjadi yang terbaik dari yang terbaik hingga tuntutan sosial yang menjadi pelopor utama permasalahan gen z. Mereka (gen z) seringkali merasa gengsi atau minder apabila ekspektasinya tentang dirinya sendiri tidak terpenuhi. Merasa tidak percaya diri apabila tidak selevel dengan circle pertemanannya (lingkup pertemanan), merasa rendah apabila tidak menjadi yang terbaik, merasa malu apabila tidak bisa memenuhi ekspektasi dirinya sendiri, dan merasa minder apabila tidak memenuhi standar gaya hidup di media sosial. Tuntutan seperti inilah yang menambah kekhawatiran dan kegelisahan mereka. Pengaruh media sosial ini menyebabkan banyak dari kaum gen z mengalami gangguan kesehatan mental.

Berdasarkan hasil riset dari beberapa sumber, ada sekitar 26,3% gen z alami gangguan mental dan 13,8% mempunyai pemikiran untuk bunuh diri (suicidal thought). Terlepas dari besarnya angka tersebut, jelas krisis ini dapat membahayakan keberlangsungan hidup generasi penerus bangsa. Suicidal thought merupakan dampak jelas dari bentuk standarisasi gaya hidup dan tuntutan sosial yang dialami kebanyak gen z. Suicidal thought merupakan ide atau pemikiran untuk mengakhiri hidupnya sendiri, hal ini bisa dilatar belakangi oleh faktor sosial, ekonomi, hingga ekspektasi lingkungan sekitar pada dirinya. 

Di sisi lain, artikel ini bisa menjadi solusi bagi para gen z agar tidak terpengaruh dengan dampak negatif dari sosial media namun mereka bisa tetap beradaptasi dan mengamati perkembangan teknologi dari media sosial.

  1.       Pembatasan Diri

Skala pembatasan diri dalam mengonsumsi informasi perlu dibatasi. Dalam segi konsumsi informasi, tidak semua hal perlu kita telan mentah-mentah. Apabila didunia yang semakin canggih dimana orang dengan mudah memanipulasi berita, ditambah lagi dengan keberadaan AI yang semakin marak digunakan. Ada baiknya informasi yang muncul di sosial media dicari terlebih dahulu kebenarannya, dengan mengulik informasi resmi dari pemerintah seperti kominfo, CNN News, dan lainnya. Selain itu, pembatasan dalam penggunaan medsos juga diperlukan. Atur waktu bermain media sosial dengan journaling atau mencatat waktu senggangmu untuk mengikuti trend dan perkembangan digital. Tentunya skala pembatasan ini harus dijalankan dengan disiplin dan konsisten, seperti menetapkan jam istirahat 30 menit untuk bermain media sosial atau menerapkan hari minggu sebagai hari santai dan sebagainya.

  1.       Penerapan S.M.A.R.T

S.M.A.R.T (Specific, Measurable, Achievable, Relevant, Time Bound) merupakan salah satu teknik yang bisa dilakukan oleh gen z untuk membantu skala tujuan dan perencanaan yang jelas serta dapat diukur dan dicapai. Penerapan ini bisa membantu gen z untuk keluar dari lingkaran krisis mental health akibat standarisasi gaya hidup di dunia maya. S.M.A.R.T terdiri dari :

  •         Specific, berarti tujuan yang jelas dan detail. Di Bagian ini, anda bisa memulai dengan membuat rancangan tujuan yang jelas di masa depan untuk perubahan yang lebih positif. Misalnya seperti merencanakan untuk berhenti bermedia sosial (detoks media sosial) dalam satu bulan kedepan.
  •         Measurable, yaitu anda perlu menetapkan parameter untuk melacak kemajuan progress anda. Misalnya anda mencatat akumulasi waktu yang anda habiskan dalam bermain media sosial setiap hari. Semakin sedikit waktu yang anda habiskan, semakin baik kemajuan yang anda ciptakan.
  •         Achievable, artinya tujuan harus dapat dicapai dengan sumber daya yang ada. Misalnya, jika anda ingin membatasi penggunaan media sosial, maka anda perlu menetapkan jadwal waktu senggang selama durasi waktu tertentu sebagai pembatasan penggunaan media sosial.
  •         Relevant, artinya tujuan harus sesuai dengan arah strategis. Contohnya penerapan dengan tujuan detoks sosial media berbeda dengan yang bertujuan untuk menyembuhkan kecanduan bermain media sosial. Oleh sebab itu strategi perlu dibarengi dengan tujuan yang jelas
  •         Time Bound, artinya tujuan harus memiliki batasan waktu yang jelas. Misalnya, jika anda ingin mengurangi konsumsi media sosial 3 jam sehari, maka anda perlu melakukan jadwal agar penerapan tersebut dapat konsisten berjalan.
  1.       Mempelajari Hukum LoA (Law of Attraction)

LoA (Law of Attraction) merupakan hukum tarik-menarik. Bayangkan pikiranmu seperti magnet dan logam adalah hal-hal yang anda konsumsi. Cara kerja magnet menarik benda-benda logam sama dengan pikiranmu yang menarik hal-hal apa saja yang anda konsumsi. Apabila yang anda pikirkan adalah hal-hal yang positif, anda akan mengonsumsi hal-hal yang positif dan begitu pula sebaliknya. Jika anda berpikiran buruk, maka hal-hal buruk akan ada disekelilingmu, namun jika pikiranmu baik maka hal-hal baik lah yang ada di sekitarmu. Ingatlah bahwa lingkungan sekitar mempengaruhi caramu berpikir. Dan inilah yang menjadi alasan bahwa anda harus membatasi bermain media sosial.

  1.       Mengenal Mental Block

 Mental block merupakan keraguan yang menghalangi individu dalam melakukan sesuatu. Kondisi ini didefinisikan sebagai kondisi psikis yang menjadi hambatan seseorang dalam mengerjakan suatu hal, misalnya seperti kekhawatiran akan kegagalan, tidak percaya diri, ragu, malas dalam memulai, dan lainnya. Mental block membuat seseorang berdelusi akan hal-hal yang tidak pasti dan menjadikan individu tersebut sulit menggapai kesuksesannya.

Mental block merupakan salah satu dampak gangguan kesehatan mental gen z akibat konsumsi sosial media yang berlebihan. Mereka merasa bahwa tindakannya saat ini tidak ada apa-apa nya dan menganggap rendah kelebihannya jika dibandingkan dengan figure yang mereka lihat di media sosial. Ketidak percayaan diri inilah yang semakin menghambat gen z dalam berkembang dan memiliki gaya hidup yang seimbang. Salah satu solusi yang bisa diimplementasikan untuk mengurasi mental block dalam diri yakni dengan memberikan kepercayaan pada diri sendiri. Yakin pada diri dan berilah diri anda kesempatan untuk berkembang. Tidak terlalu memaksakan diri anda dengan ekspektasi di media sosial bisa membuat anda merasa lebih bebas.

Berdasarkan pemaparan diatas, perlu diketahui bahwa krisis kesehatan mental gen z akibat standarisasi dan tuntutan gaya hidup dimedia sosial tidak bisa dipandang sebelah mata. Jika hal ini terus menerus terjadi, kualitas generasi penerus bisa menurun dan masa depan generasi penerus juga terancam. Selain memberikan solusi internal, pemerintah bisa menjadi solusi eksternal dalam mengatasi hal tersebut.

Ditulis oleh Aisyanita Amelia Nurleilani, Nabilla Febriani dan Wulan Rahmawati

Nyalanesia bekerja sama dengan ribuan guru dan kepala sekolah di seluruh Indonesia untuk bersama-sama membangun jembatan literasi agar setiap anak punya kesempatan untuk mewujudkan mimpi.

Pendidikan adalah alat untuk melawan kemiskinan dan penindasan. Ia juga jembatan lapang untuk menuju rahmat Tuhan dan kebahagiaan.

Mendidik adalah memimpin,
berkarya adalah bernyawa.

Nyalanesia bekerja sama dengan ribuan guru dan kepala sekolah di seluruh Indonesia untuk bersama-sama membangun jembatan literasi agar setiap anak punya kesempatan untuk mewujudkan mimpi.

Pendidikan adalah alat untuk melawan kemiskinan dan penindasan. Ia juga jembatan lapang untuk menuju rahmat Tuhan dan kebahagiaan.

Mendidik adalah memimpin,
berkarya adalah bernyawa.

Artikel Terkait